Senin, 23 Maret 2015

~~~ NENEK PENJUAL TEMPE ~~~


Di sebuah pinggiran kota, hidup seorang nenek yang hidup seorang diri. Untuk dapat menyambung hidup, nenek tersebut berjualan tempe setiap hari. Pada suatu hari, sang nenek terlambat memberi ragi, sehingga tempe tidak matang tepat pada waktunya. Saat daun pisang pembungkus tempe dibuka, kedelai-kedelai masih belum menyatu. Kedelai tersebut masih keras dan belum menjadi tempe.

Hati sang nenek mulai menangis. Apa yang harus dilakukan? Jika hari ini dia tidak bisa menjual tempe tersebut, maka dia tidak akan dapat uang untuk makan dan membeli bahan tempe untuk esok hari. Dengan air mata yang masih mengalir, sang nenek mengambil wudhu lalu salat Subuh di rumahnya yang sangat kecil dan memprihatinkan. 

"Ya Allah, tolong matangkan tempe-tempe itu. Hamba-Mu tidak tahu harus berbuat apalagi untuk menyambung hidup dengan cara yang halal. Hamba tidak ingin menyusahkan anak-anak hamba. Kabulkan doa hamba-Mu yang kecil ini ya Allah.." demikian doa sang nenek dengan linangan air mata.

Setelah selesai salat Subuh, sang nenek membuka daun pisang pembungkus tempe, tidak ada satupun yang matang. Keajaiban belum datang, doanya belum dikabulkan. Tetapi sang nenek percaya jika doanya akan terkabul, sehingga dia berangkat ke pasar saat matahari belum bersinar, mengejar rezeki dengan menjual tempe.

Sesampai di pasar, sang nenek kembali membuka pembungkus tempe. Masih belum matang. Tak apa, nenek tersebut terus menunggu hingga matahari bersinar terik. Satu persatu orang yang berbelanja berlalu lalang, tetapi tak ada satupun yang mau membeli tempe sang nenek. Matahari terus bergerak hingga para pedagang mulai pulang dan mendapat hasil dari berjualan.

Tempe dagangan penjual lain sudah banyak yang habis, tetapi tempe sang nenek tetap belum matang. Apakah Tuhan sedang marah padaku? Apakah Tuhan tidak menjawab doaku? Begitulah rintihan hati sang nenek, air matanya kembali mengalir. 

Tiba-tiba, ada seorang ibu yang menghampiri sang nenek. "Apakah tempe yang ibu jual sudah matang?" tanya sang pembeli.

Sang nenek menyeka air mata lalu menggeleng, "Belum, mungkin baru matang besok," ujarnya.

"Alhamdulillah, kalau begitu saya beli semua tempe yang ibu jual. Daritadi saya mencari tempe yang belum matang, tetapi tidak ada yang menjual. Syukurlah ibu menjualnya," ujar sang pembeli dengan suara lega.

"Kenapa ibu membeli tempe yang belum matang?" tanya sang nenek dengan heran. Semua orang selalu mencari tempe yang sudah matang.

"Anak laki-laki saya nanti malam berangkat ke Belanda, dia ingin membawa tempe untuk oleh-oleh karena di sana susah mendapat tempe. Kalau tempe ini belum matang, maka matangnya pas saat anak saya sampai ke Belanda," ujar sang ibu dengan wajah berbinar.

Inilah jawaban atas doa sang nenek. Tempe-tempe itu tidak langsung matang dengan keajaiban, tetapi dengan jalan lain yang tidak dikira-kira. Ingatlah sahabat, Tuhan selalu punya jawaban terbaik untuk doa umat-Nya. Kadang sebuah doa tak langsung mendapat jawaban. Kadang doa seseorang tidak dijawab dengan 'iya' karena Tuhan selalu punya rencana terbaik untuk hamba-Nya.

Rabu, 11 Maret 2015

Makan Kepala Ayam...??


Ketika sore sepulang kerja seorang suami melihat isteri yang tertidur pulas karena kecapekan bekerja seharian di rumah. Sang suami mencium kening isterinya dan bertanya, ‘Bunda, udah shalat Ashar belum?’ Isterinya terbangun dengan hati berbunga-bunga menjawab pertanyaan suami, ‘sudah yah.’ Isterinya beranjak dari tempat tidur mengambil piring yang tertutup, sore itu isterinya memasak kesukaan sang suami.

‘Lihat nih, aku memasak khusus kesukaan ayah.’ Piring itu dibukanya, ada sepotong kepala ayam yang terhidang untuk dirinya.
Sang suami memakannya dengan lahap dan menghabiskan. Isterinya bertanya, ‘Ayah, kenapa suka makan kepala ayam padahal aku sama anak-anak paling tidak suka ama kepala ayam.’ Suaminya menjawab, ‘Itulah sebabnya karena kalian tidak suka maka ayah suka makan kepala ayam supaya isteriku dan anak-anakku mendapatkan bagian yang terenak.’

Mendengar jawaban sang suami, terlihat butir-butir mutiara mulai menuruni pipinya. Jawaban itu menyentak kesadarannya yang paling dalam. Tidak pernah dipikirkan olehnya ternyata sepotong kepala ayam begitu indahnya sebagai wujud kasih sayang yang tulus kecintaan suami terhadap dirinya dan anak-anak. ‘Makasih ya ayah atas cinta dan kasih sayangmu.’ ucap sang isteri. 
Suaminya menjawab dengan senyuman, pertanda kebahagiaan hadir didalam dirinya.
Kita seringkali mengabaikan sesuatu yang kecil yang dilakukan oleh sosok ayah kita, namun memiliki makna yang begitu besar, di dalamnya terdapat kasih sayang, cinta, pengorbanan dan tanggungjawab.
Semoga cerita diatas kita bisa mengambil hikmah dengan mencintai setulus hati ayah kita yang telah berkorban untuk anak dan isterinya.

Selasa, 10 Maret 2015

TANCAPKAN PAKU INI, ANAKKU....

Jadi, ada suatu cerita … seorang ayah yang bijak mempunyai seorang anak laki-laki yang sangat nakal. ia sangat senang bertengkar dan berkelahi dengan temannya, dan anak tersebut selain nakal, anak tersebut juga pemarah, mudah tersinggung, suka bertutur kata yang tidak baik.
Maka, pada suatu hari sang ayah bijak memanggil anak tersebut, “nak, kemarilah … aku ingin memberikan suatu tugas untukmu”. lalu anak tersebut menghampiri ayahnya, “Ada tugas apa ayah ?” tanya si anak. lalu sang ayah berkata, “Begini .. aku ingin kau menancapkan paku di pagar setiap engkau berselisih dengan temanmu”. “baik ayah ..” kata si anak.
Maka, hari pertama pun dijalani oleh si anak, pada hari pertama si anak menancapkan 15 buah paku pada pagar, lalu berkurang pada hari kedua dan seterusnya hingga ia tidak bertengkar lagi dengan temannya dan ia tidak lagi menancapkan paku di pagar rumahya.
Lalu si anak menghampiri si Ayah dan berkata, “Aku sudah tidak menancapkan paku di pagar lagi ayah, apakah tugas ku sudah selesai ?”. lalu si ayah menjawab, “Baik, coba kau cabut semua paku yang telah engkau tanam di pagar itu nak …” kata si Ayah.
Si anak pun segera mengerjakan perintah ayahnya, ia dengan cekatan mencabut semua paku yang ia tanam di pagar, setelah selesai si anak kembali menghampiri ayahnya,” semua paku telah kucabut ayah, apakah tugasku selesai ?” tanya si anak. lalu sang ayah menjawab “Coba kau perhatikan pagar yang telah engkau cabut pakunya, pasti ada bekasnya ‘kan ?”. lalu dijawab oleh sang anak, “tentu saja ayah”. lalu ayahnya pun berkata lagi, “nah, begitulah jika kau menyakiti perasaan orang lain nak, tak cukup dengan hanya minta maaf, karena segala hal yang menyakiti perasaan seseorang tersebut akan selalu berbekas seperti kau menancapkan sebilah pisau pada punggung seseorang, walau bagaimana pun pasti ada bekas luka ‘kan ?”.